1. Kebenaran diwahyukan oleh Allah. Kebenaran tidak ditemukan oleh
individu atau komunitas. Berbagai kepercayaan mungkin merupakan hasil
dari temuan manusia atau kalompok, tetapi kebenaran berasal dari
pernyataan Allah yang berpribadi dan bermoral, yang membuat diri-Nya
diketahui. Surat Paulus kepada
jemaat Roma, misalnya,membari tahu kita
bahwa Allah telah membuat diri-Nya dapat diketahui, baik melalui ciptaan
maupun hati nurani manusia, sehingga semua manusia tidak bisa berkilah
dihadapan Pencipta dan Pemberi hukum mereka (2:14-15). Orang-orang
yang menindas kebenaran yang diwahyukan ini telah membuat berhala dalam
kefasikan (1:18) dan bukan menyembah Allah (1:21-25), dengan melakukan
hal ini, "mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta" (1:25).
Dusta menjadi berhala, dan setiap berhala mengaburkan kebenaran. Ini
karena semua berhala tidak nyata dan menipu. Semua berhala hanyalah
konstruksi sosial yang memilukan dan tidak benar atas apa yang kudus.
Selain
mewahyukan diri-Nya secara umum melalui ciptaan dari hati nurani,
Allah telah mewahyukan kebenaran akan keselamatan melalui karya-karya-
Nya yang dahsyat dalam sejarah, inkarnasi dan ke-66 kitab di dalam
Alkitab. Surat Ibrani menyatakan sifat dari wahyu Allah, "Sebab firman
Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pdang bermata dua
manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh,
sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran
hati kita" (Ibr. 4:12). Firman Allah merupakan wahyu dari Keberadaan
yang transenden, kudus, dan komunikatif dan dengan demikian, memiliki
dinamisme mental yang melampaui psikologi, sosiologi, dan politik dari
pembacanya, meskipun firman Allah disampaikan melalui budaya dari
konteks aslinya. Bagi Paulus, Alkitab diilhami secara ilahi, "segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran" (2Tim.3:16). Firman Tuhan bukan hanya bermanfaat
secara praktis, ia juga benar secara teoritis (Yoh.17:17). Allah telah
mewahyukan kebenaran kepada kita, dan bukan hanya diri-Nya sendiri.
2.
Kebenaran objektif bereksistensi dan bisa diketahui. Klaim bahwa Allah
telah mewahyukan diri kepada kita menawarkan kebenaran objektif
sebagai isi yang kognitif dari wahyu. Allah merupakan sumber dari
kebenaran objektif tentang diri-Nya sendiri dan tentang ciptaan-Nya.
Tidak hanya itu, kebenaran juga bersifat objektif karena Allah,
dikarenakan karakter dan kehendak-Nya, merupakan tingkat banding
tertinggi, sumber dari segala kebenaran. Kebenaran objektif merupakan
kebenaran yang tidak tergantung pada peraaan, hasrat, dan kepercayaan
subjektif suatu ciptaan manapun. Paulus menyatakan hal ini ketika dia
membahas ketidak percayaan sejumlah orang Yahudi, "Jadi bagaimana, jika
diantara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu
membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak! Sebaliknya; Allah adalah
benar, dan semua manusia pembohong" (Rm.3:3-4). Kebenaran Allah tidak
tergantung pada pengalaman atau interpretasi individu atau kelompok
manapun, betapapun pengalaman dan interpretasi itu terasa kuat, populer
dan berpengaruh besar secara budaya.
Penekanan alkitabiah akan
kebenaran objektif tidak mengecilkan keharusan untuk menjadikan
kebenaran Allah sebagai milik pribadi secara subjektif dan
eksistensial; sebaliknya, penekanan ini mempertajam dan memperdalam
kebutuhan akan pengalaman pribadi yang autentik. Percaya pada kebenaran
objektif tidak berarti bahwa seseorang bersikap netral atau tidak
memihak terhadap kebenaran itu. Kebenaran, khususnya kebenaran Injil
yang menyelamatkan dan menguduskan, merupakan perkara yang sangat
besar. Iman alkitabiah meliputi persetujuan atas doktrin yang benar
(yang didapatkan dari wahyu Alkitab), sebagai unsur mutlak dari iman
yang menyelamatkan dan pertumbuhan di dalam Kristus. Tetapi iman yang
alkitabiah juga menuntut kepercayaan dan komitmen kepada kebenaran yang
telah disetujuinya itu.
Objektivitas kebenaran Allah juga tidak
mengurangi realitas gereja sebagai komunitas orang-orang percaya yang
interaktif dan saling bergantung. Gereja, sebagai komunitas milik
Allah, dilahirkan melalui kebenaran dan dibentuk oleh kebenaran itu.
Maka, Paulus menyebut gereja sebagai "tiang penopang dan dasar
kebenaran" (1Tim. 3:15). Dia juga berharap agar gereja menjadi dewasa
sampai taraf dimana para anggotanya "mengatakan kebenaran di dalam
kasih diantara sesama (Ef. 4:15). Ibadah, pengajaran, khotbah,
persekutuan. perjangkauan keluar dan pelayanan gereja harus dipusatkan
pada kebenaran yang diwahyukan dan yang objektif itu, sebagai
dinamikanya yang menyatukan dan mendorong. Seperti Kristus sendiri,
tubuh Kristus harus `memberi kesaksian tentang kebenaran" (Yoh. 18:38)
3.
Kebenaran Kristen bersifat mutlak dalam naturnya. Hal ini berarti
kebenaran Allah tidak berubah-ubah. Kebenaran Allah adalah benar tanpa
pengecualian. Kebenaran Allah juga tidak bersifat relatif, dapat berubah
atau bisa diperbaiki. Cuaca bisa berubah, tetapi Allah tidak.
Satu
teks klasik tentang kemutlakan kebenaran adalah pernyataan Yesus yang
tidak bisa dikompromikan. "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, Tidak
ada seorang pun yang dating kapada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh.
14:6). Tidak ada pengecualian dari klaim ini: hanya ada satu jalan
kepada Bapa – Yesus sendiri. Menghadapi pluralisme di dunia
Mediteranian kuno, Paulus dengan berani mengatakan hal berikut di dalam
diskusinya mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala:
Tentang
hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di
dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." Sebab sungguh
pun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi dan
memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian –
namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari
pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu
Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah
dijadikan dan yang karena Dia kita hidup. (1Kor. 8:4-6)
Kebenaran
Injil tidak tunduk kepada veto siapa pun atau kepada prosedur
demokratis apa pun. Yesus tidak diangkat menjadi Tuhan oleh manusia
melainkan dipilih oleh Allah; Ia juga tak bisa diturunkan dari
tahta-Nya oleh upaya, opini, atau pemberontakan manusia mana pun. Yesus
menyatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga
Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal" (Yoh. 3:16). Yesus adalah
satu-satunya Anak, tanpa ada yang lain setara.
Meski demikian,
kebenaran mutlak Yesus Kristus membebaskan manusia yang bisa berbuat
salah dan yang penuh kebutuhan ini, dari kebingungan yang ditimbulkan
oleh banyaknya klaim religius yang saling bertentangan. Allah terfokus
di dalam Yesus dan bukan terserak di seluruh peta. Ada satu jalan untuk
keluar dari labirin (lika-liku) spiritual – jika orang memandang pada
salib. Seperti yang dikatakan Yesus, "Dan sama seperti Musa meninggikan
ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya berolah hidup kekal" (Yoh.
3: 14-15).
4. Kebenaran bersifat universal. Bersifat
universal berarti terterapkan di mana saja, meliputi apa pun dan tidak
meluputkan apa pun. Pesan Injil dan hukum moral Allah tidak dikurung
atau dibatasi oleh kondisi-kondisi budaya. Rasul Petrus berkata, "Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab
di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kis. 4:12). Hal ini
meliputi setiap orang dan tidak meluputkan satu orang pun. Keselamatan
ditawarkan kepada seluruh manusia, bukan hanya pada satu kelompok orang
tertentu. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki
Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari
segala yang ada" (Ef. 1:21-22). Jangkauan otoritas Kristus tidak
terbatas. Paulus memperluas hal ini dalam hymne kristologisnya yang
menyatakan bahwa karena Kristus Yesus, yang meskipun "dalam rupa
Allah," mengosongkan diri-Nya untuk datang ke dunia demi keselamatan
kita, Allah Bapa "mengaruniakan kepada-Nya nama diatas segala nama."
Dalam terang inilah "segala lutut bertekuk" dan "segala lidah mengaku:
Yesus kristus adalah Tuhan" (Flp. 2:6, 9-10).
5. Kebenaran Allah
berlaku secara kekal dan penting, bukannya trendi. Di zaman postmodern,
lingkungan kita dipenuhi dengan gambar-gambar yang terang, kata-kata
yang kacau dan kebisingan yang menyilaukan – semua berlomba mendapatkan
perhatian (dan uang) kita. Gaya sesaat, baik di dalam iklan, politik,
atau olah raga, datang dan pergi dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Tampaknya tak ada satu hal pun yang mapan, berakar, atau stabil
melintasi waktu. Di dalam bukunya The Culture of Disbelief: How
American Law and Politics trivialize Religious Devotion (1993), Stephen
Carter meratap bahwa bagi banyak orang (dan Negara), agama hanya
seperti hobi, hal yang bisa menyenangkan diri, suatu rasa ingin tau
ketika mood untuk itu muncul, tetapi bukan hal yang harus dianggap
serius.
Tetapi melampaui semua hal yang hanya bertahan sesaat itu,
terdapat "Batu Karang Zaman." Melampaui kerapuhan selera yang terus
berganti, pacuan hobi dan fluktuasi pasar, berdirilah Firman Tuhan yang
teguh dan berakar di dalam Allah yang kekal, Penguasa alam semesta.
"Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi Firman Allah kita
tetap untuk selama-lamanya" (Yes. 40:8). "Untuk selama-lamanya, ya
TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga" (Mzm. 119:89). Dan seperti
dinyatakan Allah kepada umat-Nya yang pemberontak, "Aku, TUHAN, tidak
berubah" (Mal. 3:6; lihat juga Ibr, 13:8). Allah tetap setia pada
janji-Nya terhadap ciptaan-Nya dan kepada komunitas-Nya dan yang
dipanggil-Nya itu. Firman-Nya bertahan dan bisa diandalkan, dari zaman
ke zaman.
Kebenaran Allah didasarkan pada keberadaan Allah yang
kekal. Kebenaran-Nya ini tak memiliki tanggal kedaluwarsa dan tak
memerlukan pembaharuan apapun. Selain itu, kebenaran Allah adalah
kebenaran yang hidup, personal, dan dinamis – kebenaran yang melampaui
keremeh-temehan yang berubah-ubah dari zaman kita, dan menyentuh
keberadaan kita dalam tingkat terdalam, dengan mengikut sertakan kita
di dalam drama yang kekal. Kebenaran ini mengubah kita, seperti
diketahui dengan baik oleh Daud, "Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu,
supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau" (Mzm. 119:11).
Seperti
ungkapan Soren Kierkegaard, orang-orang Kristen hidup "dibawah audit
kekekalan" dan di dalam perubahan-perubahan drama illahi. Setiap hal
adalah penting, ketika dilihat di bawah audit kekal. Dan jauh dari
keremehan, kebenaran Allah yang diungkapkan pada planet pemberontak
ini, terus-mererus berlaku dan terus-mererus bersifat controversial.
Karena itu, para pengikut Yesus terlibat dalam perdebatan besar untuk
merebut hati dan pikiran makhluk-makhluk kekal ini. Taruhannya tidak
terbatas, para partisipannya berharga. Allah yang kekal menawarkan
hidup kekal melalui "darah Kristus" yang "telah mempersembahkan
diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat"
dan "menerima bagian kekal yang dijanjikan" (Ibr. 9:14-15). Kebenaran
tidak bisa mati, tetapi "kematian kedua" menantikan orang-orang yang
menolak kebenaran Allah yang menyelamatkan itu (Why. 21:8).
6.
Kebenaran bersifat eksklusif, spesifik dan antitetis. Bagi satu "ya"
teologis terdapat jutaan "tidak." Apa yang benar menyingkirkan semua
hal yang bertentangan dengannya. Inilah alasan Allah menyatakan,
"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" (Kel. 20:3). Jika hanya ada
satu Allah sejati, semua pihak yang mengklain sebagai allah adalah
palsu. Logika antitesis yang tak bisa ditawar-tawar juga terdapat
dibalik ucapan Yesus yang menakutkan, "Masuklah melalui pintu yang sesak
itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju pada
kebinasaan, banyak orang yang masuk melaluinya" (Mat. 7:13). Kebenaran
adalah tepat dan persis, dan penyimpangan sedikit saja dari kebenaran
berarti menggantikan kebenaran dengan kesalahan. Ketepatan di dalam
kebenaran haruslah menjadi tujuan kita, meskipun itu tidak pernah
menjadi pencapaian kita yang sempurna.
Logika kebenaran adalah
logika dari hukum (atau prinsip) nonkontradiksi. Misalnya, Jika hanya
ada satu Allah, maka tidak mungkin ada lebih dari satu Allah. Prinsip
logis ini bukanlah milik unik dari orang Kristen; prinsip ini merupakan
kebenaran dari semua ciptaan. Ini adalah cara yang Allah tentukan bagi
kita untuk berpikir. Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh
sejumlah teolog yang telah menyimpang, iman Kristen tidak mengharuskan
kita melampaui hukum logika ini. Meskipun cara-cara Allah melampaui
cara-cara kita (Yes. 55:8-9), Allah itu konsisten dan tidak bisa
berdusta (Tit. 1:2). Allah tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri atau
menyatakan hal yang salah; Dia juga tidak bisa menjadikan satu hal
benar dan salah dalam cara yang sama pada waktu yang sama.
Dengan
menyatakan bahwa setiap pernyataan factual dan penyangkalannya tak
mungkin benar dua-duanya, maka hukum (atau prinsip) tak ada pilihan
tengah memiliki pemahaman esensial yang sama dengan hukum
nonkontradiksi. Yehova adalah Tuhan atau dia bukan Tuhan. Tak ada
pilihan tengah. Yesus mengasumsikan prinsip ini saat Ia memperingatkan,
"tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua Tuhan. Karena jika demikian,
ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan
setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak
dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."(Mat. 6:24). Sama sekali
tidak ada pililan tengah. Dan lagi, kebenaran ini terlalu penting untuk
dikompromikan; taruhannya terlalu tinggi, karena hanya ada satu Injil
yang bisa menyelamatkan orang berdosa dari hukuman kekal – Injil Yesus
Kristus.
7. Kebenaran, dipahami secara Kristen, bersifat
sistematis dan utuh. Kebenaran itu satu, sebagaimana Allah itu satu.
Semua kebenaran saling berhubungan sebagai ungkapan dari relaitas
objektif dan harmonis dari Allah – keberadaan-Nya, pengetahuan- Nya,
dan ciptaan-Nya. Hanya ada satu dunia, dunia milik Allah: uni-verse,
bukan multi-verse. Di zaman yang puas dengan pengetahuan yang
terpecah-pecah dan opini yang saling berkonflik, orang-orang Kristen
harus berjuang bagi perspektif kehidupan yang terpadu dengan baik, yang
menggemakan kebenaran dimanapun Ia dirumuskan. Francis Schaeffer
berkata, "Tidak ada gunanya mengatakan Dia adalah Alfa dan Omega, yang
Awal dan Yang Akhir. Tuhan atas segalanya; jika Dia bukanlah Tuhan atas
kehidupan intelektual saya yang seutuhnya. Saya salah dan kebingungan
jika bernyanyi tentang ketuhanan Kristus sambil berjuang untuk
mempertahankan bidang-bidang kehidupan saya sendiri agar tetap otonom."
8.
Kebenaran Kristen adalah tujuan akhir, bukan alat untuk mencapai
tujuan lain. Kebenaran Kristen harus diidamkan dan didapatkan karena
nilainya. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme postmodern, yang
mengorupsi kebenaran menjadi fungsi sosial atau pilihan pribadi. Seperti
dinyatakan Harry Blamires, "Tidak ada penyimpangan terhadap iman
Kristen yang lebih licik jika dibandingkan dengan memperlakukan iman
Kristen hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi, betapapun
terhormatnya tujuan itu pada dirinya sendiri. Iman Kristen penting
karena ia benar."
Agama postmodern menganggap kebenaran sebagai
hal yang lentur dan bisa diadaptasikan dengan kebutuhan dan gaya yang
dirasakan seseorang. Artinya, kebenaran adalah apa yang berlaku – bagi
saya atau kelompok sosial saya (relative). Tetapi iman Kristen
mengajarkan bahwa kebenaran berlaku (atau menghasilkan buah rohani)
karena ia memang benar.
KEMBALI PADA KEBENARAN
Tanpa
suatu pemahaman Alkitab yang menyeluruh dan berakar, orang kristen
akan dibungkam oleh budaya disekitarnya atau akan melakukan
kompromi-kompromi yang mengerikan dan pada akhirnya menghancurkan
kekristenan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar